Pengabdian tanpa batas dari Andi Rabiah Sang suster apungMengabdikan diri bagi kepentingan orang banyak bukanlah suatu hal yang mudah dan bisa diaangap remeh. Pengorbanan dan kesabaran hati menjadi poin penting di dalam melakukan pekerjaan ini, sebab terkadang menuntut pengorbanan lebih ketika sedang bertugas. Bagi sebagian orang pekerjaan seperti ini cukup berat dijalankan, namun ada sebagian lagi merasa terpanggil secara batin untuk melakukan pekerjaan ini. Hal tersebut pulalah mungkin kiranya yang menjadi alasan bagi Andi Rabiah untuk tetap konsisten dengan profesinya sebagai perawat di tempat terpencil selama puluhan tahun. Bukan sekedar perawat biasa Rabiah merupakan salahsatu tenaga medis yang bertugas di Sulawesi Selatan dimana ia bertugas menolong orang-orang sakit yang tersebar di pulau-pulau kecil sekitar perairan flores. Tak jarang Rabiah harus bergelut dengan hujan dan badai ketika melaksanakan tugasnya. Ombak besar lautan sudah menjadi temannya sehari-hari kala ia bertugas. Tanpa fasilitas yang memadai dan dukungan berarti dari pihak terkait Rabiah tetap menjalankan tugasnya dengan konsisten, pengorbanan waktu dan tenaga sudah tidak perlu kita pertanyakan lagi.

Ia baru dikenal oleh publik luas setelah penampilannya di salahsatu tayangan televisi yang  membahas film dokumenter yang dibuat khusus mengenai dirinya. Hal itu terjadi setelah pengabdiannya yang luar biasa dalam kurun waktu cukup lama sejak ia diangkat pada tanggal 10 Agustus 1978. Tak ada embel-embel rupiah atau hadiah yang menyebabkannya bertahan menjadi tenaga medis di tempat terpencil, namun panggilan hati yang membuatnya merasa memiliki kewajiban untuk mengabdikan seluruh kemampuannya dalam memberikan bantuan kepada masyarakat yang memang benar-benar membutuhkan keahliannya dalam bidang medis. Bukan hanya soal materi yang ia kesampingkan, bahkan urusan keluarganya sendiri pun terpaksa harus ia kesampingkan. Anaknya terpaksa harus ia titipkan karena pekerjaannya yang menuntut ia harus selalu siaga selama 24 jam dalam menjalankan tugas yang datang tak menentu.

Baca Juga:

Awal-awal bertugas

Pertama kali bertugas di sekitar perairan Sulawesi Selatan yakni kepulauan Flores, masyarakat sekitar masih sepenuhnya belum percaya dengan penanganan medis dengan gaya modern. Arus informasi yang belum terkakses dengan baik, pendidikan masyarakat sekitar yang rendah dan pengetahuan yang terbatas menyebabkan sebagaian besar mereka antipati terhadap pengobatan modern dan lebih memilih jalur alternatif, yakni dengan bantuan dukun yang sudah menjadi tradisi dan budaya masyarakat di tempatnya bertugas sejak dulu. Dari sekitar 25 pulau yang tersebar di kepulauan Flores, Rabiah harus bertugas di 10 pulau kecil yang ada disana. Akses jalur penghubung yang tersedia hanyalah perairan, yang ia hanya bisa tempuh dengan menggunakan perahu. Ombak besar dan terpaan badan sudah menjadi makanan sehari-hari di dalam kehidupan pekerjaannya, bahkan kondisi perahu yang jelek sehingga kerap kali bocor sudah menjadi hal yang biasa baginya. Meskipun demikian hal-hal seperti itu tak menyebabkanya kehilangan semangat dan keteguhan hatinya untuk melakukan panggilan tugas.

Banyak pengalaman yang menyebabkan mata hatinya terbuka

Proses penerimaan yang kurang baik oleh masyarakat di awal-awal ia bertugas dapat ia lewati dengan baik berkat keteguhan dan kesabaran hatinya dalam memberikan pengertian dan pendidikan mengenai kesehatan. Sehingga bisa dikatakan Rabiah tidak hanya menjalankan perannya sebagai perawat biasa yang bertugas menolong orang-orang sakit, namun ia juga harus mampu memberikan edukasi bagi masyarakat di tempatnya bertugas agar lebih mengerti dan memahami pentingnya kesehatan dan pengobatan secara modern. Minimnya jumlah tenaga medis yang bertugas di sana pula lah yang menyebabkan dirinya harus mampu menjalankan peran yang cukup banyak, dari mulai perawat, dokter, bidan, hingga penyuluh sekalipun.

Seiring waktu yang berjalan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya pengobatan semakin terbuka, peran Rabiah semakin penting di mata masyarakat, tak jarang Rabiah harus berhari-hari berdiam diri di suatu tempat hanya untuk menolong pasiennya yang sedang mengalami sakit parah. Beragam permasalahan kesehatan pernah ia tangani, dari penyakit yang ringan hingga kronis, bahkan urusan persalinan pun sudah menjadi hal yang biasa bagi Rabiah. Beragam jenis tangisan dari bayi yang baru lahir hingga tangisan anggota keluarga yang berduka karena pasien meninggal dunia pun sudah sering didengarnya.

Kondisi alam laut yang tidak dapat diprediksi terkadang menyulitkan pekerjaannya juga, tatkala ia harus pergi menolong pasien yang sedang mengalami penyakit berat bahkan kritis di sebuah pulau, namun cuaca buruk lautan menghadang dengan kondisi ombak yang sangat menyeramkan dan bisa saja sewaktu-waktu menenggelamkan dirinya ke dalam perairan Flores. Dalam keadaan demikian pun ia harus tetap bertugas, namun kepuasan batin dan kebahagiaan selalu dirasakannya ketika pasien yang ditolongnya dapat sembuh dan selamat.

Pengalaman tak terlupakan

Pengabdian tanpa batas dari Andi Rabiah Sang suster apung

Berbagai pengalaman medis selama hampir tiga dasawarsa lebih membuatnya mengenal dengan baik pekerjaannya. Pengalaman tersebut tak ubahnya seperti pembelajaran dalam rangka membuat dirinya menjadi lebih tanggap dan sigap dalam menjalankan pekerjaan. Di awal-awal masa tugasnya bahkan Rabiah pernah mengalami kecelakaan tugas, dimana perahu yang ditumpanginya hancur diterjang oleh sapuan ombak besar laut Flores, hal tersebut menyebabkannya terdampar di sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Dengan makanan seadanya ia beserta penumpang lainnya harus bertahan hidup dengan persediaan yang sangat minim.

Pengalaman lainnya yang tak pernah ia lupakan adalah sewaktu malakukan pertolongan kepada pasien yang kritis dan harus sangat membutuhkan cairan infus dalam pengobatannya, namun cairan infus yang tersedia ternyata sudah kadaluwarsa. Dengan izin keluarga dan berat hati Rabiah tetap memasangkan cairan infus tersebut, namun berkat pertolongan yang maha kuasa dan pengorbanan ikhlas tanpa pamrih yang di lakukan Rabiah, pasien tersebut akhirnya dapat berangsur sembuh dari penyakit diare yang kala itu mewabah di Pulau Sapuka, tempat ia bertugas.

Berkat keteguhan dan pengorbannya yang tidak mengenal pamrih akhirnya publik dapat mengenal dan mengapresiasi beliau. Berawal dari film dokumenter yang mengisahkan dirinya, ia memperoleh penghargaan yang membuatnya dijuluki “suster apung”.  Beragam apresiasi, pujian hingga bantuan kini diterimanya. Salahsatu apresiasi besar datang dari Bapak Jusuf Kalla yang pada waktu itu masih menjabat sebagai wakil presiden Republik Indonesia, ia memberikan bantuan satu unit kapal motor untuk keperluan transportasinya kala hendak menolong pasien. Kapal motor tersebut merupakan salahsatu fasilitas yang selama ini diidamkan oleh Rubiah dalam menunjang pekerjaannya menolong orang dari pulau ke pulau.

Bagi Rabiah pengorbanannya selama ini merupakan salahsatu bentuk pengabdian dan jalan hidupnya, namun ia masih berharap akan adanya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan fasilitas kesehatan, khususnya di wilayah-wilayah terpencil seperti di Pulau Sapuka tempatnya bertugas selama ini. Selain itu ia juga berharap akan adanya pemenuhan kesejahteraan sehingga dapat menarik minat orang agar mau bertugas di daerah-daerah terpencil seperti itu, mengingat saat ini hanya segelintir orang saja yang mau bertugas dan ditempatkan di wilayah-wilayah terpencil seperti itu. Ia merasa perjuangannya  perlu ada yang melanjutkan sebab ketika masanya ia harus berhenti maka masyarakat perlu figur baru yang siap mengemban tugas mulia menolong sesama seperti yang dilakukan oleh Sang suster apung Andi Rabiah.

Berikut Video yang Bisa Anda Saksikan
{embed:youtube:izl_r0IBw-k}

Loading...

Loading...